Pembahasan mengenai akuntansi sebuah klub sepakbola tidak terlepas dari pembahasan mengenai akuntansi untuk pemain sepakbola. Devi (2004) menjelaskan
bahwa agar sebuah klub sepakbola bisa bertahan atau memperoleh laba sebesar-
besarnya,
maka klub
harus
meningkatkan nama
klub sehingga akan menarik sponsor, meningkatkan nilai hak siar televisi, menambah penerimaan dari uang hadiah serta menambah pendukung fanatik. Salah satu cara meningkatkan nama klub adalah dengan pencapaian prestasi. Prestasi bisa diraih di antaranya melalui pembentukan tim yang baik. Tim yang baik umumnya dibentuk dengan pemain yang berkualitas, karena semakin berkualitas pemain yang dimiliki,
serta semakin
solid sebuah tim maka
peluang untuk menjadi juara akan semakin besar pula.
Pemain yang berkualitas dapat diperoleh dengan berbagai cara,
yaitu membeli, meminjam atau mengembangkan pemain-pemain muda lewat sekolah sepakbola yang dimiliki
klub.
Pembelian
pemain
biasanya
dilakukan lewat
mekanisme transfer.
Setiap pemain pada
sebuah
klub,
baik yang diperoleh
dengan cara
pembelian,
peminjaman maupun
berasal dari
pembinaan
pemain
muda,
terikat
dengan sebuah kontrak yang mengikat secara hukum dalam jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang jika
telah
habis jangka waktunya. Pemain yang terikat
kontrak berkewajiban untuk memberikan jasanya kepada klub dengan berkontribusi dalam pertandingan. Pemain tersebut tidak dapat berhenti bermain atau berpindah
klub
tanpa seijin klub pemilik.
Berdasarkan paparan
di
atas, Devi
(2004) berpendapat
bahwa
pemain sepakbola adalah aset yang sangat berharga bagi sebuah klub sepakbola sehingga
semestinya pemain tersebut terdapat di neraca sebuah klub sepakbola. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini terdapat perdebatan mengenai apakah human capital seperti pemain sepakbola dapat menjadi aset perusahaan. Menurut Devi (2004) dalam industri seperti sepakbola human
capital dapat memberikan nilai tambah bagi klub. Bahkan nilai kontrak dari pemain sepakbola bisa mencapai
setengah dari
nilai
asetnya sehingga jika
tidak
dilaporkan sebagai aset
dalam neraca, maka hal tersebut tidak menggambarkan nilai klub atau perusahaan yang
sebenarnya. Senada dengan hal tersebut, SFAC No. 1 menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan harus memberikan informasi yang relevan bagi pengguna dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Informasi dikatakan
relevan jika
memiliki kapasitas untuk mengkonfirmasi atau mengubah ekspektasi pembuat keputusan. Dengan demikian, nilai relevansi dari sebuah laporan keuangan adalah kemampuan untuk mengkonfirmasi atau mengubah ekspektasi investor atas nilai. Sehubungan dengan hal tersebut Krohn dan Knivsfla (2000)
menyatakan bahwa sumber daya tidak berwujud harus
dicatat untuk memaksimalkan relevansi
informasi laporan keuangan kepada pengguna, terutama saat ini dan calon investor.
Namun masalah
paling besar terhadap
sebagian besar aset yang
tidak
berwujud adalah
bahwa mereka sulit untuk diidentifikasi serta
manfaat masa depan
yang diharapkan sering jauh lebih tidak pasti daripada aset berwujud. Dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian (prudence) dan berbagai kriteria pengakuan aset, organisasi penetapan standar dan regulator lainnya telah enggan untuk mengakui beberapa sumber daya tidak berwujud sebagai aset. Meski begitu, belakangan ini organisasi penetapan standar, seperti IASB dalam IAS 38, lebih bersedia untuk mengubah fokus mereka dari kehati-hatian menuju pengakuan (recognition).